Minggu, 25 Maret 2012

Holiday Writing Challenge - Menulis Adegan Klimaks Ala Novel

Bab 23
Hati Selalu Memilih
... cinta datang bukan dari bibir atau telinga. Tetapi dari HATI!

            Jogja...
        Pagi menjelang terang, aku masih terbenam di antara selimut dan kasur. Tidak terlelap. Melainkan mencoba terlelap kembali. Tapi tak lagi bisa. Matahari mulai meninggi. Kudengar ketukan dari pintu kamarku. Avara mengetuk pintu dan membukanya sedikit. “Arga masih tidur? Arga tidak jadi jalan-jalan?” Tanya Avara dengan suara lembutnya. “Jadi. Jadi jalan-jalan, sebentar lagi Arga keluar.” Jawabku dari atas tempat tidur. “Baiklah, saya tunggu di teras.” Avara pun berlalu meninggalkan aroma khasnya. Aku segera bangkit dari kasur dan masuk kamar mandi.
      Pak Narayan, Tante Ida, Agung, dan Avara telah menunggu di teras. Aku segera menyusul dan bergabung dengan mereka. “Pak Yan, maaf tadi saya kesiangan.” Ucapku sopan pada Pak Narayan. “Tidak apa-apa Arga. Pak Yan tahu, semalam kamu tidur sudah larut malam. Ada yang mengganggu pikiranmu semalam.” Ucap Pak Yan yang mulai berjalan menaiki mobil. “Begitulah Pak Yan” ucapku lirih membuat Pak Yan hampir tak mendengarnya. Pagi ini kami berkeliling Kota Jogja. Ini ide Pak Yan. Katanya, ingin mengajakku berkeliling setelah hampir 3 bulan aku tinggal di sini. Dan sebagai perpisahan sebelum keberangkatanku kembali ke Semarang. Sebelum kembali menjadi mahasiswa biasa. Waktu setengah hari ini akan menjadi waktu paling indah yang direncanakan Pak Yan. Kuharap begitu.
          Mobil kami bergerak perlahan-lahan. Avara membuka kaca mobil di sebelahnya. Angin sejuk menerpa rambut lurus panjangnya. Sosok yang tenang itu memandang ke luar jendela. Aku memperhatikannya tanpa sadar. Pikiranku melayang entah kemana. Aku benar-benar menjadi patung jika Agung tidak mengajakku bicara di bangku paling belakang mobil itu. Aku larut dalam pembicaraan Agung tentang hasil jepretanku tadi di Parangtritis. Aku masih saja mencuri-curi pandang pada Avara. Gadis remaja itu baru saja menutup jendela di sebelahnya. Sepertinya, ia telah menangkap pikiran tenang dari angin sejuk tadi.
         Kami sampai di rumah tepat tengah hari. Tepat matahari bersinar sekuat-kuatnya. Pak Yan dan Agung langsung menuju ruang pahat yang terletak di sebelah rumah ini. Avara dan Tante Ida masuk ke rumah. Aku ingin sendiri untuk beberapa menit saja. Aku, terdiam duduk di teras. Membuka mata mencoba menerawang lapisan-lapisan langit siang ini. Kosong. Tidak ada apa-apa kali ini. Pikiranku semakin tak menentu saat kuterawang langit biru itu. Akankah aku bisa ke sini lagi? Bisakah aku kembali bertemu Avara setelah ini? Bagaimana jika tidak?. Bayang-bayang tentang Avara kembali muncul. Rasa takut itu semakin kuat. Aku terpejam, dan berkata “aku mencintaimu Avara.” Aku kembali tersadar karna suara di belakangku.
        “Maaf Arga. Avara tidak ada maksud mengganggu. Avara hanya ingin bertemu sebentar. Tapi sepertinya Arga tidak ingin diganggu. Arga memikirkan sesuatu?” Tanya Avara yang sudah duduk di sampingku
            “Sesuatu? Sepertinya begitu. Aku..aku memikirkan kamu.”
            “Saya? Apa yang Arga pikirkan tentang saya?”
            “Avara, petang ini aku akan kembali ke Semarang. Aku tak bisa bertemu denganmu beberapa waktu ini. Aku takut tidak bisa bertemu denganmu lagi.” Aku menatap Avara kali ini.
         “Arga takut karna itu? Arga terlalu bodoh jika menakuti itu. Mungkin kita masih diberi kesempatan bertemu di lain waktu. Waktu masih berjalan selama bumi masih berputar, Arga.”
            “Bagaimana jika tidak ada kesempatan lagi?”
        “Takdir. Semua telah diatur oleh Yang Maha Kuasa. Begitu juga dengan keberadaan Arga di sini. Takdir Arga di sini karna masalah-masalah yang membebani Arga bukan?”
          “Ya. Takdir. Tapi Avara….aku mencintaimu. Aku janji, aku pasti kembali ke sini lagi.” Aku memegang pundaknya. Menerawang jauh ke dalam lensa mata di hadapanku. Rumit. Tak bisa ku temukan apa-apa di sana selain mata yang mulai berkaca-kaca. Waktu terus berjalan. Avara masih terdiam di hadapanku. Dua menit berlalu. Avara memegang kedua tanganku dan meletakkannya di dadaku.
          “Arga. Seharusnya Arga harus belajar lagi tentang cinta. Dan itu bukan di tanah ini. Cinta bukan hanya terucap dari bibir saja. Tapi dari hati. Avara tahu, Arga sangat mencintaiku. Tapi tidak dengan hati Arga. Hati Arga tidak pernah memilih cinta Avara. Hanya raga Arga yang mencintai Avara. Aku mencintai Arga sepenuh hati, tapi Avara tidak  pernah mendapat cinta Arga dari hati Arga. Cinta itu memilih. Bukan dipilih. Hati selalu memilih. Hati selalu punya jawaban sendiri tentang cinta. Jawaban cinta Arga yang sesungguhnya. Karna hati selalu memilih dengan jujur. Seperti yang Avara katakan tadi, hati selalu memilih. Arga tak perlu janji untuk kembali ke sini lagi. Hati Arga telah memilih cinta di Semarang. Bukan di sini. Bukan Avara.” Ucap Avara dengan tangis yang membanjiri hati dan wajah ayu1 nya. Aku tak mampu berkata-kata lagi. Aku terdiam untuk beberapa saat. Aku lelaki yang kalah! Avara beranjak dari duduknya dan meninggalkanku sendiri memaknai kata-katanya.
         Hari semakin sore. Aku sudah siap dengan kepulanganku ke Semarang. Tas ransel hitam yang selalu ku bawa sudah siap di pundakku. Aku berpamitan dengan tetangga sekitar rumah Pak Yan. Mereka sudah menganggapku seperti keluarganya sendiri. Semuanya selesai. Pak Yan sudah memarkir mobilnya di depan teras. Agung dan Tante Ida sudah siap mengantarku ke bandara bersama Pak Yan. Avara sedang berdiam di kamarnya. Lebih tepatnya menangis. Aku paham dengan hancurnya hati Avara. Akupun sama. Hati ini juga seperti itu. Sebisa mungkin kututupi kesedihan di raut wajahku. Aku siap meninggalkan desa ini. Mulai melangkah menuju mobil. Langkahku terhenti seketika saat Avara memelukku dari belakang. Ia terus menangis memelukku. “Arga jaga kesehatan ya di sana.” Kalimat terakhir yang ia ucapkan di sela-sela tangisnya. Pak Yan, menatap kami dari dalam mobil. Pak Yan sudah tahu tentang perasaan kami. Pak Yan merasakan sebagian kehancuran hati kami.

         Semarang...
      Hari-hariku mulai berjalan biasa meski tak biasa. Aku mulai melupakan bayangan Avara. kesibukan kuliah membuatku kembali bertemu dengan sahabat-sahabatku. Ada Rara dan Neno. Ada juga Icha yang ku cintai diam-diam sejak dulu. Sejak pertemuan dadakan kami di warung makan sebelah kos Icha. Aku mulai mengerti tentang cinta. Aku mulai mengerti kata-kata yang dulu di ucapkan Avara. Hati selalu memilih. Hatiku memilih Icha…
           


_______________________________
ayu1  : cantik (bahasa jawa)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo-ayo jangan lupa kasih saran yaaa ;-)