Tampilkan postingan dengan label LOMBA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label LOMBA. Tampilkan semua postingan

Senin, 16 April 2012

"The Journeys 2: Cerita dari Tanah Air Beta"


"The Journeys 2: Cerita dari Tanah Air Beta"
Salah satu tempat terindah di negeri indonesia....

Sudah ada gambaran belum dari foto di atas? Belum ya?? Kalo yang ini gimana??

Bali, 15 desember 2011
Tepatnya pertengahan desember  tahun lalu pertama kalinya menginjakkan kaki di Pulau Seribu Pure ini. Kesan pertama, tentu bahagiaa bisa pergi ke tempat seindah ini. Bali, pulau yang dulunya hanya bisa kulihat di tv tv, sekarang aku benar-benar ada di tengah-tengah pulau ini. Singkat kata yang mewakili perasaanku saat itu : Kagum. Kagum dengan kebersihannya, kebudayaannya, keramahan masyarakatnya. 

Banyak tempat yang aku, lebih tepatnya kami kunjungi saat itu. Tempat-tempat yang kami kunjungi tidak mengecawakan sama sekali. Malah sebaliknya, membuat kami terus berdecak kagum dengan keindahan yang alam tawarkan. Mungkin masih ada tempat yang lebih bagus dari tempat-tempat yang kami kunjungi. Tapi ini sungguhan, pertama kali tempat yang benar-benar membuat kami kaguuummmmmm. Gila! Bagus bangetttttt pulau ini. sepanjang jalan selalu ada pure #yaiyalah. Pantai-pantainya juga masih ada yang lebih bagus dari kuta.

Tujuan pertama kami yaitu tanah lot. untungnya saat itu air lagi surut. jadi bisa manjat-manjat dan samapi ke tempat ini (lihat foto di bawah).




Perjalanan kami berlanjut. Kami mampir ke salah satu tempat perbelanjaan. di dalamnya ada patung-patung.  salah satu patungnya yang ini :

Mirip? =.=

Jalan-jalan kami saat itu sungguh tidak akan kami lupakan. banyaaaakkk yang membuat kami berdecak kagum (lagi-lagi). Perjalanan BALI, tetap menjadi yang paling berkesan. Pokoknya petualangan tak terduga deh. banyak kok foto-fotonya :DD

Pesona penari BALI
Awass Ombak !!

di bawah rintik hujan bersama BFF :)

Tebak! apa ini??? -BEDUGUL-

Imajinasi kami melayang di bedugul!

Terakhir,, untuk kenang-kenangan :)


Faktanya : Bali, sebuah pulau yang banyak di kunjungi wisatawan. baik wisatawan asing, maupun wisatawan dalam negri. tidak jarang pulau ini penuh saat sedang liburan. Tidak jarang ada yang berkunjung hanya untuk honeymoon.  pilihan yang tepat. dan di jamin, tidak akan nyesel kalo liburan ke pulai ini.


Sabtu, 14 April 2012

Lilyana, Satu dari mereka !

Mimpi ? Impian ?Aku yakin, semua orang punya mimpi dan impian. Tapi, tidak semuanya punya mimpi yang sama. Masing-masing telah memilih mimpi masing-masing. Mimpi yang di yakini akan menjadi kenyataan di kehidupan yang nyata. Bukan lagi mimpi yang nyata jika tak ada langkah untuk menggapainya. Bukan juga mimpi yang spesial jika tak ada tokoh inspirasi di dalamnya…Aku bermimpi menjadi seperti dia dengan jalanku sendiri. Dia, tokoh yang menginspirasiku. Yang memberiku alasan mempertahankan mimpi-mimpiku.  Lilyana Natsir. Satu diantara mereka yang menginspirasiku.  Seorang atlet bulutangkis perempuan yang namanya mendunia. Lebih sering di panggil ‘Butet’. Sosok yang baru saja menyelamatkan nama Indonesia yang hampir tenggelam 9 tahun ini,  berhasil menyabet gelar juara All England 2012 bersama Tontowi Ahmad. Sungguh prestasi yang gemilang. Mengharumkan nama bangsa di kancah Internasional..


“Di usia 12 dia meninggalkan rumah sebagai pemula. Di usia 21 dia kembali ke rumah sebagai jutawan. Di usia 12 dia memutuskan meninggalkan sekolah. Di usia 21 dia salah satu pemain bulu tangkis terbaik Indonesia–ganda campuran”


-Natsir-





Manado 9-9-1985. Ia terlahir dari pasangan Beno Natsir dan Olly Maramis. Perjuangannya menjadi primadona bulutangkis memang tak mudah. Berawal dari halaman rumahnya di Menado, Sulawesi Utara, Butet mulai berkenalan bulutangkis. Dia memang tumbuh dalam keluarga yang mencintai bulutangkis. Sejak Sekolah Dasar  ia bergabung di Club Pisok di Manado. Ia tetap sekolah meski harus berlatih bulutangkis. Tapi itu tidak bertahan lama. Orang tuanya memberi pilihan “Bulutangkis” atau “sekolah”. Dengan langkah mantap, ia memilih berhenti sekolah dan memilih melanjutkan mimpinya menjadi pemain bulutangkis handal. Bukan pilihan yang mudah memang. Tapi ia selalu percaya dengan jalan yang ia pilih.


“Ketika saya memutuskan berhenti sekolah, 
Itu beban berat buat saya.



Di usia 12 tahun, Lilyana Natsir meninggalkan bangku sekolah demi menekuni bulutangkis. Ia merantau ke Kota Jakarta untuk mewujudkan mimpinya itu. Atas dorongan keluarganya, ia bergabung dengan Club Tangkas Alfamart Jakarta. Bukan hal mudah bagi seorang anak 12 tahun harus merantau ke pulau lain seorang diri tanpa keluarga yang hadir di setiap saat. Tak jarang ia menangis karna rasa kangen yang memuncak pada kedua orng tuanya. Bahkan, ia pernah menolak kembali ke Jakarta saat pulang ke Manado. Tapi, berkat bujukan ibunya, ia kembali memantapkan hati, meneruskan perjuangan yang telah ia rintis. Prestasinya memuncak, diawali dari Juara Asia Junior, Jawara SEA Games sampai Silver Medalist Olympic. Seiring berjalannya waktu, ia terpilih masuk pelatnas bulutangkis di Cipayung Jakarta Timur karna raihan prestasinya.

Sejarah mencatat namanya. Lilyana Natsir tercatat sebagai pebulutangkis spesialis ganda yang disegani. Ia sempat berpasangan dengan Vita Marrisa. Tapi pada akhirnya, mereka di pecah dan butet di pasangkan dengan Nova Widianto sejak tahun 2004. Ternyata pilihan pelatihnya tidak sia-sia. Buktinya pasangan ini sempat menjadi peringkat 1 dunia. Tidak lama, Nova menggantungkan raket dan Butet di pasangkan dengan Tontowi Ahmad sampai sekarang.
(kiri: Vita marrisa, kanan: Lilyana Natsir)
Bulutangkis membawa Lilyana Natsir menjelajahi dunia

Rasa kagum akan perjalanan Butet inilah yang semakin menguatkanku untuk terus menggapai mimpiku. Mimpi untuk menjadi yang terbaik di pilihanku. Sama seperti Butet yang akhirnya mewujudkan mimpinya menjadi primadona lapangan bulutangkis. Suatu saat, akan datang waktunya untuk mewujudkan mimpi kecilku ini. Menjadi taruna. Bukan hal mudah, tapi aku yakin aku bisa. Entah rintangan apa yang akan menghadang, aku yakin itu akan ku lewati. Seperti kata butet, ‘Karna hidup adalah pilihan. Jadi kita harus menerima resiko.’
[...dream is expensive]





Minggu, 08 April 2012

[HOLIDAY WRITING CHALLENGE] Pindahkan Genrenya!

Judul Novel : Bintang Di Langit Bali
Pengarang : Eryth Novianti
Halaman : 26-27

Aslinya:

“Makanya aku ada di Bali sekarang ini,” Jawab Faira
“Senang dengan tempat-tempat baru?”
“Makanya aku ada di bali sekarang ini.” Faira menyeringai senang.
“Kamu…kamu asalnya dari mana, sih?” Tanya Aga dengan senyum yang tiba-tiba muncul di bibirnya. Senyum yang berarti, ya-ampun-akhirnya-aku-menanyakan-pertanyaan-ketinggalan-zaman ini.
“Semarang,” jawab Faira.
“Jauh bener.”
“Nggak juga.”
“Tapi logatmu aneh.”
Faira Agak bingung. “Masa?”
“Iya. Nggak ada medok-medoknya.”
“Oh, mungkin karena bapakku.”
“Kenapa bapakmu?”
“Bapakku orang Jakarta. Kalau ibuku, baru orang semarang asli. Di rumah kami malah nggak pernah ngobrol pakai basasa Jawa sih.” Faira meringis mengingat bagaimana Mbah Putri (nenek) suka agak jantungan mendengar gaya bicaranya yang nyablak.
“Kalau kamu?” Faira balas bertanya.
“jember.”
“Jauh bener!”
Aga tersenyum aneh. “Kamu tau nggak sih, Jember di mana?”
“Haha? Ehh…” Faira meringis. Terus terang, dia asal ngomong barusan itu.
“Kalau dibanding Semarang, Jember kalah jauh dong. Semarang kan di Jawa Tengah. Jember itu di Jawa Timur, Neng.”
“Oh, hehe. Lupa…” Faira salah tingkah.
“Cowok kamu orang mana?”
“Hah?” Faira terkejut. “Oh, engg, enggak.”
“Enggak? Enggak jauh?”
“Nggak punya.”
“Masa? Kamu manis gitu,” seru Aga, membuat Faira berdebar-debar aneh.
Tuhan, tolong jangan buat aku pingsan, doa Faira dalam hati.
“Kamu sukanya cowok yang seperti apa memangnya?”
“Emm..yang biasa aja.”
“Biasa?” Aga tersenyum. “Seperti aku?” Faira mencengkram kursinya sambil menjerit dalam hati, Tuhan, aku pingsan nih!
***

“Ra.” Nannia mengetuk pintu kamar Faira. Tak terdengar jawaban dari dalam sana. Aneh sekali, pikir Nannia. Belum terlalu malam kok, masa Faira sudah tidur?
“Ra? Faira?” Nannia membuka pintu yang rupanya tak terkunci itu.
“Hah? Ada apa?” tanya Faira dengan wajah gelagapan.
Nannia memasang tampang judes. “Ngapain, sih? Dipanggil-Panggil gak jawab.”


Diubah jadi:


Aku Faira. Gadis mungil yang dibesarkan di kota Bali. Bukan Pulau Bali. Tapi kota Bali yang berada di taman kota. Ya, aku sebangsa serangga. Tapi bukan serangga. Aku manusia setinggi serangga. Seperti putri jempol mungkin…

“Makanya aku ada di Bali sekarang ini,” Jawab ku yang sudah duduk di sehelai rumput sebelah Aga.
“Senang dengan tempat-tempat baru?” Tanya Aga meyakinkan pertanyaan sebelumnya.
“Makanya aku ada di bali sekarang ini.” Dengan sabar ku ulang jawaban yang sama. Aga memang seperti itu. Tidak pernah puas dengan jawaban-jawaban yang aku katakan. Seperti saat pertemuan pertama kami di rumah Pak Kum(bang). Dia terus mengulang pertanyaan yang sama. Sampai-sampai membuatku naik darah. Hampir saja ku ucapkan mantra silentium1. Tapi tak jadi. Senyumnya yang membuatku membatalkan hal itu.

Aku memperhatikan tingkah lucunya siang ini. Sungguh lucu. Grogi yang yang ia tampakkan membuatku terkikik pelan. Tapi tak sampai terdengar olehnya. Aku tahu. Dia menyukaiku sejak sekolah pertama. Di tambah rumah kami yang bersebelahan, memudahkannya memandangiku diam-diam saat aku duduk membaca novel di balkon rumah. Sering kali dia mengucapkan mantra ventus2 hanya untuk membuat rambutku berantakkan. Menyebalkan.

Aga. Sahabat pertamaku sejak aku pindah ke Kota Bali. Dia baik, perhatian, dan sayang denganku seperti kakak yang sayang dengan adikknya. Aku menyayanginya. Dan berharap menjadi kekasihnya. Tapi itu takkan pernah terjadi. bagimanapun juga, kita sama-sama menjadi sahabat baik. Kita sama-sama memiliki kekuatan sihir. Dan itu membuat kita takkan pernah bersatu.

Suasana kian hening. Orang-orang yang beristirahat siang, sudah kembali bekerja di satu-satunya perusahaan yang ada di kota Bali ini. Ya, di bawah akar pohon yang besar itu. Aga tak kunjung berbicara. Aku berniat mengajaknya makan di warung Bu Lom(bok).

“Kamu…kamu asalnya dari mana, sih?” Tanya Aga membuyarkan semua rencana yang kupikirkan tadi.
“Semarang,” Jawabku bersemangat. Jarang-jarang Aga menanyakan hal ini. Baru pertama kali sejak kami menjadi sahabat.
 “Jauh bener.” Ungkapnya sambil berdiri dari duduk silanya.
Jauh? Pikirku. “Nggak juga.”
“Tapi logatmu aneh.” Serobot Aga sambil menatapku dalam. Menyatukan kedua alisnya.
Aku agak bingung. Agak salting. Tapi dengan perasaan tenang ku jawab  “Masa?”
“Iya. Nggak ada medok-medoknya.”  Jawabnya dengan pandangan yang sudah beralih ke toko kue milik Bu Su(ji).
“Oh, mungkin karena bapakku...” Jawabku menggantung.
“Kenapa bapakmu?”
“Bapakku orang Jakarta. Kalau ibuku, baru orang semarang asli. Di rumah kami malah nggak pernah ngobrol pakai bahasa Jawa sih.”  Aku tersenyum menahan tawa saat teringat kejadian 2 tahun lalu. Saat aku belajar bahasa jawa dengan Eyang Putri. Eyang sempat marah-marah karna aku tak bisa mengucapkan bahasa jawa dengan benar.
“Kalau kamu?” Aku balas bertanya.
“Jember.” Jawab Aga cepat.
“Jauh bener!” Jawabku asal. Jujur saja, Jember itu kota apa aku tak pernah tahu.
Aga tersenyum aneh. “Kamu tau nggak sih, Jember di mana?”
“Haha? Ehh…” aku meringis.
“Kalau dibanding Semarang, Jember kalah jauh dong. Semarang kan di Jawa Tengah. Jember itu di Jawa Timur, Neng.” Terang Aga sambil tertawa puas melihat kebodohanku tadi.
“Oh, hehe. Lupa…” Aku salah tingkah.
“Cowok kamu orang mana?” Tanya aga santai.
“Hah?” Aku terkejut. “Oh, engg, enggak.”
“Enggak? Enggak jauh?”
“Nggak punya.” Jawabku jujur. Cowok? Nggak ada yang aku suka selain kamu! Jeritku dalam hati.
“Masa? Kamu manis gitu,” seru Aga, membuat ku berdebar-debar aneh.
Tuhan, tolong jangan buat aku pingsan, doa ku dalam hati.
“Kamu sukanya cowok yang seperti apa memangnya?” Pertanyaannya semakin menjadi-jadi.
“Emm..yang biasa aja.”
“Biasa?” Aga tersenyum tipis. “Seperti aku?” Aku mencengkram  kuat kursi rumput itu sambil menjerit dalam hati, Tuhan, aku pingsan nih!
***

Aku sudah tertidur di atas ranjangku yang terbuat dari rumput kering. “Ra.” Nannia memanggilku pelan. Tapi aku tak kunjung terbangun. “Ra? Faira?” Nannia mulai panik dan mengguncang-guncangkan tubuhku yang masih lemas karna pingsan tadi. “Hah? Ada apa?” tanyaku dengan wajah panik dan gelagapan. Nannia....dia sahabat baikku juga. Tapi harus ku akui. Dia tidak terlalu pintarNannia mendekatkan tubuhnya. "Ngapain sih? Dipanggil-Panggil gak jawab.” Tanya Nannia dengan polos. Seketika rasanya gonduk setengah mati. Rasanya ingin teriak tepat di depan mukanya 'Gue pingsan doooodddoool!'.


Cuplikan Novel

__________________________________________________
INSPIRATION FROM: nata dan niki jadi pasangan alien di planet antah berantah ^^


silentium = diam
ventus = angin

Minggu, 25 Maret 2012

Holiday Writing Challenge - Menulis Adegan Klimaks Ala Novel

Bab 23
Hati Selalu Memilih
... cinta datang bukan dari bibir atau telinga. Tetapi dari HATI!

            Jogja...
        Pagi menjelang terang, aku masih terbenam di antara selimut dan kasur. Tidak terlelap. Melainkan mencoba terlelap kembali. Tapi tak lagi bisa. Matahari mulai meninggi. Kudengar ketukan dari pintu kamarku. Avara mengetuk pintu dan membukanya sedikit. “Arga masih tidur? Arga tidak jadi jalan-jalan?” Tanya Avara dengan suara lembutnya. “Jadi. Jadi jalan-jalan, sebentar lagi Arga keluar.” Jawabku dari atas tempat tidur. “Baiklah, saya tunggu di teras.” Avara pun berlalu meninggalkan aroma khasnya. Aku segera bangkit dari kasur dan masuk kamar mandi.
      Pak Narayan, Tante Ida, Agung, dan Avara telah menunggu di teras. Aku segera menyusul dan bergabung dengan mereka. “Pak Yan, maaf tadi saya kesiangan.” Ucapku sopan pada Pak Narayan. “Tidak apa-apa Arga. Pak Yan tahu, semalam kamu tidur sudah larut malam. Ada yang mengganggu pikiranmu semalam.” Ucap Pak Yan yang mulai berjalan menaiki mobil. “Begitulah Pak Yan” ucapku lirih membuat Pak Yan hampir tak mendengarnya. Pagi ini kami berkeliling Kota Jogja. Ini ide Pak Yan. Katanya, ingin mengajakku berkeliling setelah hampir 3 bulan aku tinggal di sini. Dan sebagai perpisahan sebelum keberangkatanku kembali ke Semarang. Sebelum kembali menjadi mahasiswa biasa. Waktu setengah hari ini akan menjadi waktu paling indah yang direncanakan Pak Yan. Kuharap begitu.
          Mobil kami bergerak perlahan-lahan. Avara membuka kaca mobil di sebelahnya. Angin sejuk menerpa rambut lurus panjangnya. Sosok yang tenang itu memandang ke luar jendela. Aku memperhatikannya tanpa sadar. Pikiranku melayang entah kemana. Aku benar-benar menjadi patung jika Agung tidak mengajakku bicara di bangku paling belakang mobil itu. Aku larut dalam pembicaraan Agung tentang hasil jepretanku tadi di Parangtritis. Aku masih saja mencuri-curi pandang pada Avara. Gadis remaja itu baru saja menutup jendela di sebelahnya. Sepertinya, ia telah menangkap pikiran tenang dari angin sejuk tadi.
         Kami sampai di rumah tepat tengah hari. Tepat matahari bersinar sekuat-kuatnya. Pak Yan dan Agung langsung menuju ruang pahat yang terletak di sebelah rumah ini. Avara dan Tante Ida masuk ke rumah. Aku ingin sendiri untuk beberapa menit saja. Aku, terdiam duduk di teras. Membuka mata mencoba menerawang lapisan-lapisan langit siang ini. Kosong. Tidak ada apa-apa kali ini. Pikiranku semakin tak menentu saat kuterawang langit biru itu. Akankah aku bisa ke sini lagi? Bisakah aku kembali bertemu Avara setelah ini? Bagaimana jika tidak?. Bayang-bayang tentang Avara kembali muncul. Rasa takut itu semakin kuat. Aku terpejam, dan berkata “aku mencintaimu Avara.” Aku kembali tersadar karna suara di belakangku.
        “Maaf Arga. Avara tidak ada maksud mengganggu. Avara hanya ingin bertemu sebentar. Tapi sepertinya Arga tidak ingin diganggu. Arga memikirkan sesuatu?” Tanya Avara yang sudah duduk di sampingku
            “Sesuatu? Sepertinya begitu. Aku..aku memikirkan kamu.”
            “Saya? Apa yang Arga pikirkan tentang saya?”
            “Avara, petang ini aku akan kembali ke Semarang. Aku tak bisa bertemu denganmu beberapa waktu ini. Aku takut tidak bisa bertemu denganmu lagi.” Aku menatap Avara kali ini.
         “Arga takut karna itu? Arga terlalu bodoh jika menakuti itu. Mungkin kita masih diberi kesempatan bertemu di lain waktu. Waktu masih berjalan selama bumi masih berputar, Arga.”
            “Bagaimana jika tidak ada kesempatan lagi?”
        “Takdir. Semua telah diatur oleh Yang Maha Kuasa. Begitu juga dengan keberadaan Arga di sini. Takdir Arga di sini karna masalah-masalah yang membebani Arga bukan?”
          “Ya. Takdir. Tapi Avara….aku mencintaimu. Aku janji, aku pasti kembali ke sini lagi.” Aku memegang pundaknya. Menerawang jauh ke dalam lensa mata di hadapanku. Rumit. Tak bisa ku temukan apa-apa di sana selain mata yang mulai berkaca-kaca. Waktu terus berjalan. Avara masih terdiam di hadapanku. Dua menit berlalu. Avara memegang kedua tanganku dan meletakkannya di dadaku.
          “Arga. Seharusnya Arga harus belajar lagi tentang cinta. Dan itu bukan di tanah ini. Cinta bukan hanya terucap dari bibir saja. Tapi dari hati. Avara tahu, Arga sangat mencintaiku. Tapi tidak dengan hati Arga. Hati Arga tidak pernah memilih cinta Avara. Hanya raga Arga yang mencintai Avara. Aku mencintai Arga sepenuh hati, tapi Avara tidak  pernah mendapat cinta Arga dari hati Arga. Cinta itu memilih. Bukan dipilih. Hati selalu memilih. Hati selalu punya jawaban sendiri tentang cinta. Jawaban cinta Arga yang sesungguhnya. Karna hati selalu memilih dengan jujur. Seperti yang Avara katakan tadi, hati selalu memilih. Arga tak perlu janji untuk kembali ke sini lagi. Hati Arga telah memilih cinta di Semarang. Bukan di sini. Bukan Avara.” Ucap Avara dengan tangis yang membanjiri hati dan wajah ayu1 nya. Aku tak mampu berkata-kata lagi. Aku terdiam untuk beberapa saat. Aku lelaki yang kalah! Avara beranjak dari duduknya dan meninggalkanku sendiri memaknai kata-katanya.
         Hari semakin sore. Aku sudah siap dengan kepulanganku ke Semarang. Tas ransel hitam yang selalu ku bawa sudah siap di pundakku. Aku berpamitan dengan tetangga sekitar rumah Pak Yan. Mereka sudah menganggapku seperti keluarganya sendiri. Semuanya selesai. Pak Yan sudah memarkir mobilnya di depan teras. Agung dan Tante Ida sudah siap mengantarku ke bandara bersama Pak Yan. Avara sedang berdiam di kamarnya. Lebih tepatnya menangis. Aku paham dengan hancurnya hati Avara. Akupun sama. Hati ini juga seperti itu. Sebisa mungkin kututupi kesedihan di raut wajahku. Aku siap meninggalkan desa ini. Mulai melangkah menuju mobil. Langkahku terhenti seketika saat Avara memelukku dari belakang. Ia terus menangis memelukku. “Arga jaga kesehatan ya di sana.” Kalimat terakhir yang ia ucapkan di sela-sela tangisnya. Pak Yan, menatap kami dari dalam mobil. Pak Yan sudah tahu tentang perasaan kami. Pak Yan merasakan sebagian kehancuran hati kami.

         Semarang...
      Hari-hariku mulai berjalan biasa meski tak biasa. Aku mulai melupakan bayangan Avara. kesibukan kuliah membuatku kembali bertemu dengan sahabat-sahabatku. Ada Rara dan Neno. Ada juga Icha yang ku cintai diam-diam sejak dulu. Sejak pertemuan dadakan kami di warung makan sebelah kos Icha. Aku mulai mengerti tentang cinta. Aku mulai mengerti kata-kata yang dulu di ucapkan Avara. Hati selalu memilih. Hatiku memilih Icha…
           


_______________________________
ayu1  : cantik (bahasa jawa)