Minggu, 08 April 2012

[HOLIDAY WRITING CHALLENGE] Pindahkan Genrenya!

Judul Novel : Bintang Di Langit Bali
Pengarang : Eryth Novianti
Halaman : 26-27

Aslinya:

“Makanya aku ada di Bali sekarang ini,” Jawab Faira
“Senang dengan tempat-tempat baru?”
“Makanya aku ada di bali sekarang ini.” Faira menyeringai senang.
“Kamu…kamu asalnya dari mana, sih?” Tanya Aga dengan senyum yang tiba-tiba muncul di bibirnya. Senyum yang berarti, ya-ampun-akhirnya-aku-menanyakan-pertanyaan-ketinggalan-zaman ini.
“Semarang,” jawab Faira.
“Jauh bener.”
“Nggak juga.”
“Tapi logatmu aneh.”
Faira Agak bingung. “Masa?”
“Iya. Nggak ada medok-medoknya.”
“Oh, mungkin karena bapakku.”
“Kenapa bapakmu?”
“Bapakku orang Jakarta. Kalau ibuku, baru orang semarang asli. Di rumah kami malah nggak pernah ngobrol pakai basasa Jawa sih.” Faira meringis mengingat bagaimana Mbah Putri (nenek) suka agak jantungan mendengar gaya bicaranya yang nyablak.
“Kalau kamu?” Faira balas bertanya.
“jember.”
“Jauh bener!”
Aga tersenyum aneh. “Kamu tau nggak sih, Jember di mana?”
“Haha? Ehh…” Faira meringis. Terus terang, dia asal ngomong barusan itu.
“Kalau dibanding Semarang, Jember kalah jauh dong. Semarang kan di Jawa Tengah. Jember itu di Jawa Timur, Neng.”
“Oh, hehe. Lupa…” Faira salah tingkah.
“Cowok kamu orang mana?”
“Hah?” Faira terkejut. “Oh, engg, enggak.”
“Enggak? Enggak jauh?”
“Nggak punya.”
“Masa? Kamu manis gitu,” seru Aga, membuat Faira berdebar-debar aneh.
Tuhan, tolong jangan buat aku pingsan, doa Faira dalam hati.
“Kamu sukanya cowok yang seperti apa memangnya?”
“Emm..yang biasa aja.”
“Biasa?” Aga tersenyum. “Seperti aku?” Faira mencengkram kursinya sambil menjerit dalam hati, Tuhan, aku pingsan nih!
***

“Ra.” Nannia mengetuk pintu kamar Faira. Tak terdengar jawaban dari dalam sana. Aneh sekali, pikir Nannia. Belum terlalu malam kok, masa Faira sudah tidur?
“Ra? Faira?” Nannia membuka pintu yang rupanya tak terkunci itu.
“Hah? Ada apa?” tanya Faira dengan wajah gelagapan.
Nannia memasang tampang judes. “Ngapain, sih? Dipanggil-Panggil gak jawab.”


Diubah jadi:


Aku Faira. Gadis mungil yang dibesarkan di kota Bali. Bukan Pulau Bali. Tapi kota Bali yang berada di taman kota. Ya, aku sebangsa serangga. Tapi bukan serangga. Aku manusia setinggi serangga. Seperti putri jempol mungkin…

“Makanya aku ada di Bali sekarang ini,” Jawab ku yang sudah duduk di sehelai rumput sebelah Aga.
“Senang dengan tempat-tempat baru?” Tanya Aga meyakinkan pertanyaan sebelumnya.
“Makanya aku ada di bali sekarang ini.” Dengan sabar ku ulang jawaban yang sama. Aga memang seperti itu. Tidak pernah puas dengan jawaban-jawaban yang aku katakan. Seperti saat pertemuan pertama kami di rumah Pak Kum(bang). Dia terus mengulang pertanyaan yang sama. Sampai-sampai membuatku naik darah. Hampir saja ku ucapkan mantra silentium1. Tapi tak jadi. Senyumnya yang membuatku membatalkan hal itu.

Aku memperhatikan tingkah lucunya siang ini. Sungguh lucu. Grogi yang yang ia tampakkan membuatku terkikik pelan. Tapi tak sampai terdengar olehnya. Aku tahu. Dia menyukaiku sejak sekolah pertama. Di tambah rumah kami yang bersebelahan, memudahkannya memandangiku diam-diam saat aku duduk membaca novel di balkon rumah. Sering kali dia mengucapkan mantra ventus2 hanya untuk membuat rambutku berantakkan. Menyebalkan.

Aga. Sahabat pertamaku sejak aku pindah ke Kota Bali. Dia baik, perhatian, dan sayang denganku seperti kakak yang sayang dengan adikknya. Aku menyayanginya. Dan berharap menjadi kekasihnya. Tapi itu takkan pernah terjadi. bagimanapun juga, kita sama-sama menjadi sahabat baik. Kita sama-sama memiliki kekuatan sihir. Dan itu membuat kita takkan pernah bersatu.

Suasana kian hening. Orang-orang yang beristirahat siang, sudah kembali bekerja di satu-satunya perusahaan yang ada di kota Bali ini. Ya, di bawah akar pohon yang besar itu. Aga tak kunjung berbicara. Aku berniat mengajaknya makan di warung Bu Lom(bok).

“Kamu…kamu asalnya dari mana, sih?” Tanya Aga membuyarkan semua rencana yang kupikirkan tadi.
“Semarang,” Jawabku bersemangat. Jarang-jarang Aga menanyakan hal ini. Baru pertama kali sejak kami menjadi sahabat.
 “Jauh bener.” Ungkapnya sambil berdiri dari duduk silanya.
Jauh? Pikirku. “Nggak juga.”
“Tapi logatmu aneh.” Serobot Aga sambil menatapku dalam. Menyatukan kedua alisnya.
Aku agak bingung. Agak salting. Tapi dengan perasaan tenang ku jawab  “Masa?”
“Iya. Nggak ada medok-medoknya.”  Jawabnya dengan pandangan yang sudah beralih ke toko kue milik Bu Su(ji).
“Oh, mungkin karena bapakku...” Jawabku menggantung.
“Kenapa bapakmu?”
“Bapakku orang Jakarta. Kalau ibuku, baru orang semarang asli. Di rumah kami malah nggak pernah ngobrol pakai bahasa Jawa sih.”  Aku tersenyum menahan tawa saat teringat kejadian 2 tahun lalu. Saat aku belajar bahasa jawa dengan Eyang Putri. Eyang sempat marah-marah karna aku tak bisa mengucapkan bahasa jawa dengan benar.
“Kalau kamu?” Aku balas bertanya.
“Jember.” Jawab Aga cepat.
“Jauh bener!” Jawabku asal. Jujur saja, Jember itu kota apa aku tak pernah tahu.
Aga tersenyum aneh. “Kamu tau nggak sih, Jember di mana?”
“Haha? Ehh…” aku meringis.
“Kalau dibanding Semarang, Jember kalah jauh dong. Semarang kan di Jawa Tengah. Jember itu di Jawa Timur, Neng.” Terang Aga sambil tertawa puas melihat kebodohanku tadi.
“Oh, hehe. Lupa…” Aku salah tingkah.
“Cowok kamu orang mana?” Tanya aga santai.
“Hah?” Aku terkejut. “Oh, engg, enggak.”
“Enggak? Enggak jauh?”
“Nggak punya.” Jawabku jujur. Cowok? Nggak ada yang aku suka selain kamu! Jeritku dalam hati.
“Masa? Kamu manis gitu,” seru Aga, membuat ku berdebar-debar aneh.
Tuhan, tolong jangan buat aku pingsan, doa ku dalam hati.
“Kamu sukanya cowok yang seperti apa memangnya?” Pertanyaannya semakin menjadi-jadi.
“Emm..yang biasa aja.”
“Biasa?” Aga tersenyum tipis. “Seperti aku?” Aku mencengkram  kuat kursi rumput itu sambil menjerit dalam hati, Tuhan, aku pingsan nih!
***

Aku sudah tertidur di atas ranjangku yang terbuat dari rumput kering. “Ra.” Nannia memanggilku pelan. Tapi aku tak kunjung terbangun. “Ra? Faira?” Nannia mulai panik dan mengguncang-guncangkan tubuhku yang masih lemas karna pingsan tadi. “Hah? Ada apa?” tanyaku dengan wajah panik dan gelagapan. Nannia....dia sahabat baikku juga. Tapi harus ku akui. Dia tidak terlalu pintarNannia mendekatkan tubuhnya. "Ngapain sih? Dipanggil-Panggil gak jawab.” Tanya Nannia dengan polos. Seketika rasanya gonduk setengah mati. Rasanya ingin teriak tepat di depan mukanya 'Gue pingsan doooodddoool!'.


Cuplikan Novel

__________________________________________________
INSPIRATION FROM: nata dan niki jadi pasangan alien di planet antah berantah ^^


silentium = diam
ventus = angin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ayo-ayo jangan lupa kasih saran yaaa ;-)